Seorang
wanita datang menjumpai Fatimah binti Rasul dan berkata, “Aku memiliki
seorang ibu yang sudah tua. Untuk melakukan shalat, dia mengalami kesulitan.
Ibuku itu mengirimku ke sini untuk menanyakan beberapa pertanyaan.” Wanita
itu menanyakan sejumlah pertanyaan. Satu demi satu pertanyaan itu dijawab
dengan detail dan cermat oleh Fatimah. Kemudian wanita itu malu untuk bertanya
lagi dan berkata :”wahai putri Rasul! Cukup sampai di sini saja, aku merasa
sungkan bertanya terus menerus.”
Fatimah
berkata : ”Jangan khawatir! Bertanyalah sebanyak yang engkau suka! Aku akan
menjawabnya dengan senang hati. Seandainya engkau diupah untuk mengangkat
barang ke suatu tempat, sementara upahnya adalah sebuah istana apakah engkau
akan menolak mengangkat barang itu?”
wanita
tersebut berkata , “Tentu tidak! Aku tidak akan merasa lelah dan bosan,
karena di balik kerja keras itu, bayaran yang besar berada di depan mataku.”
Fatimah
melanjutkan, “Ketahuilah bahwa untuk setiap jawaban yang aku berikan, Allah
SWT memberikan pahala untukku seluas bumi beserta isinya. Dengan pahala yang
amat besar ini, bagaimana mungkin aku merasa bosan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ibumu? Ayahku telah berkata, ‘ketika ulama dibangkitkan
pada hari kiamat, Allah SWT memberikan pahala kepada mereka sesuai keluasan
ilmu dan usaha mereka untuk menyadarkan umatnya. Setiap ulama diberikan sejuta
pakaian dari cahaya, kemudian malaikat berseru, ”wahai ulama yang telah
membimbing umat Muhammad dengan ilmu sehinga mereka mendapatkan petunjuk dan
bertakwa, maka sebesar mana mereka memanfaatkan ilmu kalian, sebesar itu pula
kalian berhak memperoleh pahala! Bahkan untuk sebagian mereka hanya diberikan
seratus ribu pakaian. Setelah pakaian tersebut dibagikan, Allah SWT berfirman :
“Sekali lagi berikan pakaian kepada mereka sampai pakaian mereka sempurna.”
Kemudian datang perintah agar hadiah itu digandakan,
demikian juga mengenai murid-murid ulama yang menurunkan ilmunya kepada
murid-murid berikutnya, untuk mereka pahala yang berlipat-lipat.
Kemudian
Fatimah berkata kepada wanita itu : “Satu benang dari pakaian itu seribu
kali lebih baik dari semua yang diterangi oleh matahari. Karena, kenikmatan
duniawi bercampur dengan kesulitan dan kesusahan, sementara nikmat akhirat
tidak memiliki kekurangan dan cela.
BIMBINGAN DENGAN UANG
Seorang
lelaki datang menjumpai Imam Musa Al-Kadzim dan langsung mencaci-maki Imam.
Para pengikut Imam meminta ijin kepada Imam untuk memberi pelajaran kepada
lelaki biadab itu. Namun Imam tidak mengijinkan, bahkan beliau menanyakan
alamat dan ladang petani itu.
Beberapa
hari kemudian, Imam pergi ke ladang petani itu dengan mengendarai kuda.
Sesampainya diladang, Imam melihat lelaki itu sedang berada ditengah ladangnya.
Lelaki itu membentak Imam agar tidak menginjak tanaman ladangnya. Imam turun
dari kendaraannya dan berjalan kaki menghampiri petani itu.
Imam
bertanya, “Berapakah biaya yang engkau keluarkan untuk tanaman ini?” ia
berkata, “seratus dirham.” Imam bertanya, “berapakah keuntunganmu
yang engkau harapkan ?”
“Dua ratus dirham”kata petani itu. Kalau begitu ambillah 300 dinar ini
sebagai hadiah dariku. Semoga Allah mengabulkan semua yang engkau
inginkan,”kata Imam.
Dengan
senang hati petani itu menerima uang tersebut. Kemudian mencium kening suci
manusia yang sebelumnya sangat dibencinya itu. Setelah itu Imam meminta ijin
untuk pulang seraya tersenyum. Keesokan harinya ketika Imam memasuki masjid
untuk memimpin shalat jama’ah, petani itu sudah duduk dimesjid, ia membaca
sebuah ayat :
Allah SWT lebih tahu kepada siapa menyerahkan risalahnya
(ajarannya) (QS 6:124).
Para
sahabatnya dengan heran saling bertanya, “Apa yang telah terjadi pada petani
ini, kemarin mencaci Imam, sementara kini memuji Imam.”
Imam
berkata, “ketika kalian minta ijin kepadaku untuk menghajar lelaki ini, aku
tidak ijinkan. Tahukah kalian mengapa ? karena dengan hadiah uang, aku telah
berhasil mendidik dan membimbingnya. Sebenarnya salah satu cara untuk
menyadarkan seseorang adalah dengan berbuat baik kepadanya.”
Soal: Apa hikmah dibalik kejadian pahit?
Jawab:
Kejadian pahit itu dapat digolongkan dalam dua golongan; sebagian dari kejadian
pahit itu dikarenakan diri kita sendiri dan sebagian lainnya tidak berada dalam
ikhtiar kita.
Kebanyakan
kejadian pahit dalam kehidupan kita muncul dari tidak adanya ketelitian dan
manajemen yang baik dari kita. Bila dalam jual beli kita tidak serius mengurusi
dokumen pembelian dan penjualan, penjamin atau barang jaminan tidak kita minta
dari peminjam dan uang kita tidak diberikannya, maka dalam hal ini kita yang
bersalah.
Bila
kita tidak meletakkan sebuah tangga di dalam kolam dan anak kecil terjatuh ke
dalamnya dan mati tenggelam, maka kita yang bersalah.
Bila
kita tidak menjaga kebersihan, tidak memperhatikan undang-undang lalu lintas
dan tidak menghormati adat istiadat masyarakat, maka kita akan sakit, tabrakan
dan kita akan diejek oleh masyarakat. Di sini kita juga yang bersalah.
Sementara
sebagian kejadian pahit yang di luar dari kehendak kita memiliki banyak sebab:
Kesulitan
membuat tumbuh dan sempurnanya manusia. Kemajuan manusia dan ilmu pengetahuan
muncul dari upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan dan mencarikan solusi atas
problema yang dihadapinya.
Kejadian-kejadian
pahit dalam kehidupan manusia kebanyakan sebagai tebusan kesalahan-kesalahan
manusia sendiri.
Kejadian-kejadian
pahit membuat semangat masyarakat tetap terjaga.
Nabi
Muhammad saw bersabda: “Bila untuk manusia ada tiga hal; sakit, kematian dan
kemiskinan tidak ada kesombongan manusia tidak akan hilang. Manusia di hadapan
segala sesuatu tidak akan pernah merasa rendah hati” (Bihar al-Anwar: jilid 6,
hal 118).
Kejadian-kejadian
pahit membuat potensi manusia menjadi berkembang dan aktual. Siapa yang
menghadapi musibah, dengan kesabaran ia dapat tumbuh, sementara mereka yang
tidak pernah melihat musibah dapat berbuat untuk menolong mereka yang terkena
musibah. Dengan pengorbanan mereka tumbuh menyempurna.
Ummu Ibrahim al Bashariyyah
Dikisahkan
di Bashrah terdapat wanita-wanita ahli ibadah, di antaranya adalah Ummu Ibrahim
al-Hasyimiyah. Ketika musuh Islam menyusup ke kantong-kantong perbatasan wilayah
Islam, maka orang-orang tergerak untuk berjihad di jalan Allah.
‘Abdul
Wahid bin Zaid al Bashri berdiri di tengah orang-orang sambil berkhutbah untuk
menganjurkan mereka berjihad. Sedangkan saat itu Ummu Ibrahim turut menghadiri
majelis ini. ‘Abdul Wahid terus berkhutbah, sampailah pembicaraannya
menerangkan tentang bidadari. Bidadari merupakan imbalan bagi sebagian penghuni
surga, akibat amalannya diterima oleh Allah, amalan tersebut antara lain adalah
jihad.
‘Abdul
Wahid menyebutkan pernyataaan-pernyataan tentang bidadari, kemudian dia
bersenandung menyifati bidadari ini.
Gadis
yang berjalan tenang dan berwibawa
Orang
yang menyifatkan memperoleh apa yang diungkapkannya
Dia
diciptakan dari segala sesuatu yang baik nan harum
Segala
sifat jahat telah dienyahkan
Allah
menghiasinya dengan wajah
yang
berhimpun padanya sifat-sifat kecantikan yang luar biasa
Matanya
bercelak demikian menggoda
Pipinya
mencipratkan aroma kesturi
Lemah
gemulai berjalan di atas jalannya
Seindah-indah
yang dimiliki dan kegembiraan yang berbinar-binar
Apakah
kau melihat peminangnya mendengarkannya
Ketika
mengelilingkan piala dan bejana
Di
taman yang elok yang kita dengar suaranya
Setiap
kali angin menerpa tangan itu, bau harumnya menyebar
Dia
memanggilnya dengan cinta yang jujur
Hatinya
terisi dengannya hingga melimpah
Wahai
kekasih aku tidak menginginkan selainnya
Dengan
cincin tunangan sebagai pembukanya
Janganlah
kau seperti orang yang bersungguh-sungguh ke puncak hajatnya
Kemudian
setelah itu ia meninggalkannya
Tidak,
orang yang lalai tidak akan bisa meminang wanita sepertiku
Yang
meminang wanita sepertiku hanyalah orang yang merengek-rengek
Maka
sebagian orang bergerak pada sebagian yang lainnya, dan majelis itupun menjadi
ramai dan gaduh. Kemudian Ummu Ibrahim yang mengikuti khutbah ‘Abdul Wahid ini
menyeruak dari tengah orang-orang seraya berkata kepada ‘Abdul Wahid,
“Wahai
Abu ‘Ubaid, bukankah engkau tahu anakku Ibrahim. Para pemuka Bashrah
meminangnya untuk puteri-puteri mereka, tetapi aku memukul anakku ini di
hadapan mereka. Demi Allah, gadis (bidadari) ini mencengangkanku dan aku
meridhainya menjadi pengantin untuk puteraku. Ulangi lagi apa yang engkau
sebutkan tentang kecantikannya.”
Mendengar
hal itu ‘Abdul Wahid kembali menyifatkan bidadari, kemudian bersenandung:
Wajahnya
mengeluarkan cahaya yang kembali mengeluarkan cahaya
Sendau
guraunya seharum parfum dari parfum murni
Jika
menginjakkan sandalnya di atas pasir yang sangat gersang
niscaya
seluruh penjuru menjadi hijau, dengan tanpa hujan
Tali
yang mengikat pinggangnya
Seperti
ranting pohon Raihan yang berdaun hijau
Seandainya
meludahkan air liurnya dilautan
Niscaya
umat manusia merasakan segarnya meminum air lautan
Orang-orangpun
menjadi semakin ramai, lalu Ummu Ibrahim maju seraya berkata kepada ‘Abdul
Wahid,
“Wahai
Abu Ubaid, demi Allah, gadis ini mencengangkanku dan aku meridhainya sebagai
pengantin bagi puteraku. Apakah engkau sudi menikahkan puteraku dengan gadis
tersebut saat ini juga?, Ambilllah maharnya dariku sebanyak 10.000 dinar, serta
bawalah putraku keluar bersamamu menuju peperangan itu. Mudah-mudahan Allah
mengaruniakan syahadah (mati syahid) kepadanya, sehingga dia akan memberi
syafa’at untukku dan untuk ayahnya pada hari Kiamat.”
‘Abdul
Wahidpun menjawab, “Jika engkau melakukannya, niscaya engkau dan anakmu akan
mendapatkan keberuntungan yang besar.”
Kemudian
Ummu Ibrahim memanggil puteranya, “Wahai Ibrahim!”
Ibrahimpun
bergegas maju dari tengah orang-orang seraya mengatakan, “Aku penuhi
panggilanmu, wahai ibu.”
Ummu
Ibrahim berkata, “Wahai puteraku! Apakah engkau ridha dengan gadis (bidadari)
ini sebagai isteri, dengan syarat engkau mengorbankan dirimu di jalan Allah dan
tidak kembali dalam dosa-dosa?”
Pemuda
ini menjawab, “Ya, demi Allah wahai ibu, aku sangat ridha.”
Ummu
Ibrahim berkata, “Ya Allah, aku menjadikan-Mu sebagai saksi bahwa aku telah
menikahkan anakku ini dengan gadis ini dengan pengorbanannya di jalan-Mu dan
tidak kembali dalam dosa. Maka, terimalah dariku, wahai sebaik-baik Penyayang.”
Kemudian
ibu ini pergi, lalu datang kembali dengan membawa 10.000 dinar seraya
mengatakan, “Wahai Abu ‘Ubaid, ini adalah mahar gadis itu. Bersiaplah dengan
mahar ini. “
Abu
Ubaidpun menyiapkan para pejuang di jalan Allah.
Sang
ibu kemudian pergi membelikan kuda yang baik untuk puteranya dan menyiapkan
senjata untuknya.
Kemudian
berangkatlah rombongan ‘Abdul Wahid yang didalamnya terdapat Ibrahim, ke medan
perang. Bersamaan dengannya dibacakanlah QS. At-Taubah:111 yang artinya,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka …”
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka …”
Ketika
sang ibu hendak berpisah dengan puteranya, maka ia menyerahkan kain kafan dan
wangi-wangian kepadanya seraya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, jika engkau
hendak bertemu dengan musuh, maka pakailah kain kafan ini dan gunakanlah
wangi-wangian ini. Janganlah Allah melihatmu dalam keadaan lemah di jalan-Nya.”
Kemudian ia memeluk puteranya dan mencium keningnya seraya mengatakan, “wahai
anakku, Allah tidak mengumpulkan antara aku denganmu kecuali di hadapan-Nya
pada hari Kiamat.”
Selanjutnya
marilah kita baca penuturan ‘Abdul Wahid
‘Abdul
Wahid berkata, “Ketika kami sampai diperbatasan musuh, kemudian terompet pun
ditiup, dan mulailah terjadi perang. Saat itu Ibrahim berperang di barisan
terdepan. Ia membunuh musuh dalam jumlah yang besar, sampai musuh mengepungnya,
kemudian membunuhnya.”
‘Abdul
Wahid berkata, “Ketika kami hendak kembali ke Bashrah, aku berkata kepada
Sahabat-Sahabatku,
‘Jangan
kalian menceritakan kepada Ummu Ibrahim tentang berita yang menimpa puteranya
sampai aku mengabarkan kepadanya dengan sebaik-baik hiburan. Sehingga ia tidak
bersedih dan pahalanya tidak hilang.’
Ketika
kami sampai di Bashrah, orang-orangpun keluar untuk menyambut kami, dan Ummu
Ibrahim pun berada diantara mereka.”
‘Abdul
Wahid berkata: “Ketika dia memandangku, ia bertanya, ‘Wahai Abu Ubaid, apakah
hadiah dariku diterima sehingga aku diberi ucapan selamat, atau ditolak
sehingga aku diberi belasungkawa?’
Akupun
menjawab, ‘Hadiahmu telah diterima. Sesungguhnya Ibrahim hidup bersama
orang-orang yang hidupdalam keadaan diberi rizki (insyaa Allah)’.
Maka
ibu inipun tersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah karena bersyukur, dan
mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku dan menerima
ibadah dariku.’ Kemudian ia pergi.
Keesokan
harinya, Ummu Ibrahim datang ke masjid yang didalamnya terdapat ‘Abdul Wahid
lalu dia berseru, ‘Assalaamu’alaikum wahai Abu ‘Ubaid, ada kabar gembira
untukmu’. Selanjutnya dia berkata,
‘Tadi
malam aku bermimpi melihat puteraku, Ibrahim, di sebuah taman yang indah. Di
atasnya terdapat kubah hijau, sedangkan dia berada di atas ranjang yang terbuat
dari mutiara, dan kepalanya memakai mahkota. Ibrahim berkata,
“Wahai
ibu, bergembiralah. Sebab maharnya telah diterima dan aku bersanding dengan
pengantin wanita.’”
Demikianlah
salah satu kisah ibu-ibu umat Islam terdahulu. Yang dia menyebabkan bangsa Arab
dan umat Islam dahulu, menjadi bangsa yang kuat. Umat Islam dahulu menjadi umat
yang mempunyai kewibawaan yang besar diantara umat-umat yang lain. Salah
satunya adalah upaya dari ibu-ibu dengan menyiapkan anak-anaknya sebagai
prajurit pembela Islam.
Marilah
para ibu, maupun calon ibu untuk mencontoh segala yang dilakukan oleh ibu-ibu
umat Islam ini jaman terdahulu, yang selalu membantu suami dan anaknya dalam
rangka mentaati Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dengannya
semoga kejayaan dan kewibawaan umat Islam mampu kembali.
Sumber: Isyratun Nisaa’ minal alif ilal yaa’
TAUBATNYA MALIK BIN DINAR -ROHIMAHULLAH-
Kehidupanku
dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zhalim kepada
manusia, memakan hak manusia, memakan riba, dan memukuli manusia. Kulakukan
segala kezhaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya.
Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku.
Malik
bin Dinar Rohimahullah menuturkan: Pada suatu hari, aku merindukan
pernikahan dan memiliki anak. Maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang
puteri yang kuberi nama Fathimah.
Aku
sangat mencintai Fathimah. Setiap kali dia bertambah besar, bertambah pula
keimanan di dalam hatiku dan semakin sedikit maksiat di dalam hatiku.
Pernah
suatu ketika Fathimah melihatku memegang segelas khamr, maka diapun mendekat
kepadaku dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajuku. Saat
itu umurnya belum genap dua tahun. Seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala
-lah yang membuatnya melakukan hal tersebut.
Setiap
kali dia bertambah besar, semakin bertambah pula keimanan di dalam hatiku.
Setiap kali aku mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
selangkah, maka setiap kali itu pula aku menjauhi maksiat sedikit demi sedikit.
Hingga usia Fathimah genap tiga tahun, saat itulah Fathimah meninggal dunia.
Maka
akupun berubah menjadi orang yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku belum
memiliki sikap sabar yang ada pada diri seorang mukmin yang dapat menguatkanku
di atas cobaan musibah. Kembalilah aku menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Setanpun mempermainkanku, hingga datang suatu hari, setan berkata kepadaku:
“Sungguh hari ini engkau akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah
engkau lakukan sebelumnya.” Maka aku bertekad untuk mabuk dan meminum khamr
sepanjang malam. Aku minum, minum dan minum. Maka aku lihat diriku telah
terlempar di alam mimpi.
Di
alam mimpi tersebut aku melihat hari kiamat.
Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan
bumipun telah bergoncang. Manusia berkumpul pada hari kiamat. Manusia dalam
keadaan berkelompok-kelompok. Sementara aku berada di antara manusia, mendengar
seorang penyeru memanggil: Fulan ibn Fulan, kemari! Mari menghadap al-Jabbar.
Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena
sangat ketakutan.
Sampai
aku mendengar seorang penyeru menyeru namaku: “Mari menghadap al-Jabbar!”
Kemudian
hilanglah seluruh manusia dari sekitarku seakan-akan tidak ada seorangpun di
padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ulat besar yang ganas lagi kuat
merayap mengejar kearahku dengan membuka mulutnya. Akupun lari karena sangat
ketakutan. Lalu aku mendapati seorang laki-laki tua yang lemah. Akupun berkata:
“Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!” Dia menjawab: “Wahai anakku aku lemah,
aku tak mampu, akan tetapi larilah kearah ini mudah-mudahan engkau selamat!”
Akupun
berlari kearah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut berada di
belakangku. Tiba-tiba aku mendapati api ada dihadapanku. Akupun berkata:
“Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam
api?” Akupun kembali berlari dengan cepat sementara ular tersebut semakin
dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata: “Demi
Allah, wajib atasmu menolong dan menyelamatkanku.” Maka dia menangis karena iba
dengan keadaanku seraya berkata: “Aku lemah sebagaimana engkau lihat, aku tidak
mampu melakukan sesuatupun, akan tetapi larilah kearah gunung tersebut
mudah-mudahan engkau selamat!”
Akupun
berlari menuju gunung tersebut sementara ular akan mematukku. Kemudian aku
melihat di atas gunung tersebut terdapat anak-anak kecil, dan aku mendengar
semua anak tersebut berteriak: “Wahai Fathimah tolonglah ayahmu, tolonglah
ayahmu!”
Selanjutnya
aku mengetahui bahwa dia adalah putriku. Akupun berbahagia bahwa aku mempunyai seorang
putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari
situasi tersebut. Maka diapun memegangku dengan tangan kanannya, dan mengusir
ular dengan tangan kirinya sementara aku seperti mayit karena sangat ketakutan.
Lalu dia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia.
Dia
berkata kepadaku:
“Wahai
ayah, “belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk
hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid:16)
Maka
kukatakan: “Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular itu.”
Dia berkata: “Itu adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu. Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah tersebut adalah amal shalihmu, engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu. Seandainya saja engkau tidak melahirkanku, dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.”
Dia berkata: “Itu adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu. Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah tersebut adalah amal shalihmu, engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu. Seandainya saja engkau tidak melahirkanku, dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.”
Dia
Rohimahullah berkata: Akupun terbangun dari tidurku dan berteriak:
“Wahai Rabbku, sudah saatnya wahai Rabbku, ya, “Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” Lantas aku
mandi dan keluar untuk shalat subuh dan ingin segera bertaubat dan kembali
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dia
Rohimahullah berkata:
Akupun masuk ke dalam masjid dan ternyata imampun membaca ayat yang sama:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid: 16)
…..
Akupun masuk ke dalam masjid dan ternyata imampun membaca ayat yang sama:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” (Qs. Al-Hadid: 16)
…..
Itulah
kisah taubatnya Malik bin Dinar Rohimahullah yang beliau kemudian menjadi salah
seorang imam generasi tabi’in, dan termasuk ulama Basrah. Dia dikenal selalu
menangis sepanjang malam dan berkata: “Ya Ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya
Dzat Yang Mengetahui penghuni sorga dan penghuni neraka, maka yang manakah aku
di antara keduanya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni sorga dan jangan
jadikan aku termasuk penghuni neraka.”
Malik
bin Dinar Rohimahullah bertaubat dan dia dikenal pada setiap harinya
selalu berdiri di pintu masjid berseru: “Wahai para hamba yang bermaksiat,
kembalilah kepada Penolong-mu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada
Penolong-mu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada
Penolong-mu! Penolong-mu senantiasa menyeru memanggilmu di malam dan siang
hari. Dia berfirman kepadamu: “Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu
jengkal, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika dia
mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatkan diri-Ku
kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan
mendatanginya dengan berlari kecil.”
Aku
memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan rizki taubat
kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Maha Suci Engkau,
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.
Malik
bin Dinar Rohimahullah wafat pada tahun 130 H. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmatinya dengan rahmat-Nya yang luas. (Misanul I’tidal,
III/426).
Sumber: Isyratun Nisaa’ minal alif ilal yaa’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar