Sabtu, 31 Desember 2016

Relasi Agama dan Budaya



Relasi agama dan budaya sebagai sistem objektif, yang terdiri dari ajaran iman, peraturan moral, dan upacara-upacara ritual (ibadat) banyak terdapat unsur-unsur kebudayaan. Budaya menjadi raga dari jiwa ajaran agama. Tanggapan manusia terhadap ajaran  agama yang bersumber dari wahyu ilahi diungkapkan secara manusiawi, baik psikologis maupun simbol-simbol budaya. Budaya menjadi sarana realisasi spiritual dan pencapaian pengetahuan iluminatif tentang Tuhan dan mengapresiasi keindahan alam sebagai anugerah tak terbatas dari Tuhan.
Atas dasar itu maka setiap agama mempunyai hubungan erat dengan budaya dan seni, bahkan dalam hal tertentu, seni lahir dari agama.seni dan agama dihubungkan dihubungkan oleh rasa. Dimana karya ciptaseni lahir dari rangsangan rasa-agama. Dan rasa-agama yang menjelma, menggerakan rasa seni untuk mencipta. Dalam islam, seni budaya dikendalikan oleh pangkal dan ujungnya, yakni tujuan meraih takwa. Kesimpulan ini dapat ditarik dari dua keterangan hadits berikut:

“Hendaklah kamu baguskan akan al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus itu menambah keindahan al-Qur’an “. Hadits riwayat imam-imam Al-Hakim, ad-Darimy dan Ibnu Nashr dari Al-Baraa bin Azib.

“sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung adalah indah dan Dia menyukai keindahan”(H.R. Ahmad dari ’Uqbah bin Amir).

Dalam sejarah islam, para sufi dan sastrawan menghayati dan mencintai Tuhan dalam taraf cinta aksetik dan mengungkapkan Tuhan sebagai Yang Maha Indah. Penyiar islam di nusantara yang dikenal “Wali Songo” pada umumnya adalah ulama bercorak sufistik. Mereka mengedapankan dakwah kultural dan sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Namun, kebijaksanaan para Wali songo ini tidak jarang menerima kritik dari kaum skripturalis yang berdalil setiap perkara baru yang tidak dilakukan Rasulullah sebagai bid’ah. Hal ini didasarkan hadits sohih terkenal berikut.
 
“… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru dan semua bid’ah itu sesat.” (H.R. Muslim, Kitabul Jum’at No.2024)
            Dalam riwayat Nasa’I dan Baihaqi ada tambahan redaksi:

            … dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”.
            “jauhilah perkara-perkara baru, sebab sesungguhnya setia bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud No. 4607 Bab luzumis sunnah dan HR. Tirmidzi No. 2678 Bab ma ja’a fil akhdzi bis sunnah wajtinabil bida’i).
siapa yang mengadakan perkara baru yang tidak ada dasarnya, maka dia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim)
                        Kaum skripturalis memahami redaksi “kullu’ hadits diatas bersifat ‘am mutlak tanpa pengecualian. Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya dineraka. Perayaan agama dan ritual yang dilakukan tanpa contoh Nabi berarti bid’ah. Deretan amaliah seperti muludan, tahlilan, barzanjian, majelis salawatan, haul, dan lain-lain adalah munkar karena termasuk perkara baru tanpa preseden syar’i. Benarkah demikian? Mari kita periksa beberapa aspek dari keterangan hadits di atas.
                        Pertama, secara etimologis, kata kullu di dalam bahasa Arab tidak selalu berarti ‘am muthlaq (semua, tanpa kecuali). Kata kullu terkadang berarti ‘am makhsus (semua terkecuali). Di dalam Al-Quran, kata kullu sebagai ‘am muthlaq, misalnya disebutkan dalam ayat-ayat berikut:

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (Qs. Alu Imran/3:185)

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Qasas [29]: 88)


“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS, al-Zumar [39]: 62);
Sebaliknya, di dalam Al-Quran. Terdapat kata kullu, tetapi berarti sebagian tidak semua, sebagian besar atau sebagian kecil, seperti dalam ayat-ayat berikut:

“Dan kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30)

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (Qs. An-Naml [27: 23)
                        Meskipun ayat di atas menyebutkan semua, namun faktanya kita tahu bahwa, tidak semua makhluk Tuhan tercipta dari air. Contohnya malaikat dan iblis, tercipta dari cahaya dan api. Disebutkan bahwa Ratu Balqis dianugerahkan segala sesuatu, namun faktanya ia tidak dianugerahi kekuasaan terhadap Kerajaan Sulaiman. Kesimpulannya, bahwa kata “kullu” tidak selalu berarti semua tanpa kecuali (‘am muthlaq), tetapi juga berarti sebagian (‘am makhsus).
                        Salah satu uslub (gaya bahasa) al-Quran adalah menyebut keseluruhan, tetapi yang dimaksud sebagian. Dan ada pula uslub lain dari al-Quran yang menyebut sebagian padahal yang dimaksud keseluruhan. Contoh masing-masing uslub adalah sebagai berikut:
                        “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu sesuatu yang kotor, maka jauhilah wanita (isteri) pada saat haid.” (QS Al-Baqarah [2]: 222)
                        Larangan mendekati isteri yang sedang haid pada ayat diatas bukanlah larangan total menjauhi isteri ketika haid, tetpi hanya sebagai kecilnya saja, yaitu kemaluannya. Inilah yang dicontohkan Rasulullah. Dalam hadits sahih, Rasulullah menyatakan: “Jami’uhunna fil buyut, washana’u kulla sya’in illan nikah. Artinya: kumpuli isteri-isteri kalian dirumah, lakukan semuanya kecuali seks! (HR. Muslim, Ahmad & Abu Dawud)
                        maka hadapkanlah wajahmu kesisinya (masjidil haram).”
(Qs. Al- Baqarah/2:144)
Hadapakan wajahmu pada ayat diatas tidak hanya bermakna muka, tetapi seluruh anggota badan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah sesat dan masuk neraka. Inilah mafhum yang dinyatakan Imam Nawawi  bahwa kullu dalam hadits kullu bid’atin dlalalah bukanlah ‘am muthlaq (semua tanpa terkecuali), tetapi ‘am makhsus (semua terkecuali).
Kedua, secara substansial, perkara apakah yang dilarang untuk di-bid’ahi dalam teks hadits diatas? Apakah semua perkara baru yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi bid’ah? Secara logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan waktu, yang berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak dilakukan Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern adalah bid’ah. Dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi posel, alat pengeras suara, semua adalah bid’ah. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, perkara yang dimaksud adalah perkara agama, meliputi ushulul aqidah dan usuhulus syariah.
                        Perkara ushulul aqidah adalah rukun iman.berdasarkan ijma’ulama dari hadits Nabi, rukun iman ada 6, yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan, percaya kepada rasul, hari kiamat, dan qadha-qadar. Sedangkan ushulus syari’ah adalah rukun islam yang ada 5(lima), yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu. Menambah atau mengurangi, termasuk berimprovisasi dalam perkara pokok ini, berarti bid’ah. Mengimani, mematuhi, dan melaksanakan perkara pokok agama, pada prinsipnya bersifat ta’abbudi. Tidak perlu bertanya kenapa shalat dzuhur empat rakaat, shalat subuh dua raka’at. Ikuti saja ! Tidak usah menambah dua syahadat dengan embel-embel lain. Tidak perlu ‘ngeyel’ kenapa haji harus dikota mekkah. Tidak perlu kritis kenapa puasa mulai fajar sampai maghrib, bukan sebaliknya.
                        Improvisasi dalam perkara ushul terlarang, karena sifatnya ibadah madhah. Menyelisihi ushul (baik ushul aqidah maupun ushul syari’ah) akan berdampak langsung terhadap status keimanan dan keislaman seseorang. Mengingkari keberadaan malaikat, rasul, dan kitab-kitab akan menentukan utuh atau tanggalnya iman seseorang.mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan utuh atau tanggalnya islamseseorang.
                        Dalam ibadah mahdoh yang bersifat ta’abbudi tidak boleh ada improvisasi. Sebaliknya, dalam muthalaqoh justru terbuka terhadap inovasi. Tidak ada bid’ah, dalam pengertian kullu bid’atin dhalalah, dalam ibadah muthalaqah. Ibadah muthalaqah adalah seluruh amal manusia yang dinilai ibadah dari niat dan illat-nya. Illat adalah faktor yang menentukan hukum.
                        Jadi, diskursus tentang relasi agama dan budaya secara jernih harus dimulai dengan membedakan ushul dan furu’, ibadah mahdoh dengan ibadah muthalaqah. Adat selagi tidak bertentangan dengan nash dibenarkan tergantung illat-nya. Ini berlaku untuk semua hal. Muludan, tahlilan, yasinan, haul, salawatan bukan ibadah mahdoh, karena itu berlaku kaidah niat dan illat. Jika niatnya jelek dan menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang sama sekali. Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan maslahat, baik secara personal maupun sosial, maka nilai ibadahnya tinggi. Mamakai jubbah dan sorban jika niatnya mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumhya mubah. Tetapi, jika niatnya pamer kesalehan dan dampaknya ujub personal, hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama sekali.
                        Dalam ibadah muthalaqah, kaidah fikih yang berlaku adalah (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada yang melarangnya). Sementara dalam ibadah mahdloh, kaidah yang berlaku sebaliknya (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang membolehkannya). Dalam ibadah muthalaqah, jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya. Tanyakan dalil mana yang melarangnya? Jika ada orang bertanya mana dalil yang memrintahkan muludan, tidak usah sibuk buka kitab mencari justifikasi dalil. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya ! jika ada orang yang bertanya mana dalil yang memerintahkan tahlilan, tidak usah sibuk buka kitab cari referensi. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya ! ujung-ujungnya pasti akan kembali kepada qiyas, mencari padanan dalil, karena dalil sharih, baik yang memerintahkan maupun melarangnya, sama-sama tidak ada.
C. Inovasi Dakwah bukan Bid’ah
Para ulama membagi bid’ah kedalam lima kategori, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Bid’ah wajib seperti menciptakan ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an mencakup ilmu nahwu, ushul fiqh, dan seterusnya. Bid’ah sunnah yaitu kebaikan yang tidak ada dizaman Rasulullah seperti teraweh berjamaah. Bid’ah mubah seperti mengenakan baju yang indah, dan memiliki rumah yang bagus. Bid’ah haram adalah perkara baru yang jelas menentang sunnah dan al-Qur’an.
Bid’ah yang masuk dalam kategori wajib dan sunnah itulah yang masuk dalam gerakan inovasi. Inovasi dakwah islam sudah dimulai sejak awal sejarah islam, yakni mulai kodifikasi al-Qur’an dan hadits serta pembangunan masjid.
Bukankah kita mengenal islam  dari mushaf al-Qur’an  dan kitab hadits yang oleh Rasulullah tidak pernah dikodifikasikan ? Al-Qur’an dizaman Rasulullah dan sahabat tersimpan terutama di dada para pengafal al-Qur’an. Belum ada mushaf utuh. Catatan al-Qur’an masih berserak ditangan sahabat, ditulis didaun lontar, tulang, dan batu.
Seusai perang Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Kepada khalifah Abu Bakar, sahabat Umar bin Khatab usul agar dihimpun mushaf agar menjaga otentisitas al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?”  Umar bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Demi Allah ini demi kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar , dada Abu Bakar terbuka, menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid bin Tsabit memimpin tim penghimpun al-Qur’an. Di zaman Utsman, kodifikasi al-Qur’an digalakkan besar-besaran, dibagikan secara massif keluar tanah Hijaz.
Setelah Islam berkembang luas ke luar jazirah arab, mushaf Al-Qur’an yang dicetak dan dibagikan massif dizaman Utsman bin Affan tidak bisa dibaca oleh masyarakat non Arab. Jangan bayangkan mushaf zaman dahulu seperti sekarang. Dulu, huruf  Arab gundul, betul-betul gudul, tanpa titik dan harakat. Kita tidak bisa membedakan huruf  Tha’, Ba’ dan Tsa’, karena hanya berupa cengkok tanpa titik. Huruf Shad dan Dhad juga tidak ada bedanya. Orang yang pertama kali meletakan titik kedalam huruf Arab (awwalu man wadha’an nuqoth alal huruf) adalah Abu-I Aswad ad-Du’ali, pada 62 H. Beliau adalah generasi tabi’in.
Seabad kemudian, Imam Kholil bin Ahmad Al-Farahidi yang wafat pada 185 H, melengkapi dengan harakat, fathah, kasrah, dhammah, sukun, dan tanwin. Tanpa inovasi ulama ini, orang non Arab seperti kita tidak akan bisa membaca al-Qur’an.
Kita juga berhutang kepada Abu Ubaid Qosim bin Salam (w. 224 H) yang menemukan ilmu tajwid, sehingga untaian ayat al-Qur’an indah dibaca dan didengar. Sekali lagi, tanpa inovasi sahabat dan ulama, kita tidak bisa mengenal al-Qur’an dan membacanya dengan baik dan benar.
            Sumber kedua islam adalah hadits. Dalam hadits shahih riwayat muslim, Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian tulis dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an , hapuslah”. Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadits, bahkan melarangnya. Jika kita tidak melihat konteks hadits ini dan hanya baca teksnya, maka kita tidak mengenal sumber islam yang kedua. Kitab-kitab hadits yang terhimpun seperti al- Muwatha’ karya imam malik, Musnad ahmad karya Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, serta kitab-kitab hadits lainnya.
            Inovasi tidak dapat dipisahkan dari dakwah islam. Mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab hadits yang menjadi referensi kita dalam menggali nilai-nilai islam adalah produk inovasi. Dengan kecerdasan para ulama memahami konteks zaman, mereka giat membukukan hadits yang tidak diperintahkan bahkan dilarang oleh Rasulullah.
       
     Inovasi lain yang menjadi tantangan umat islam, saat kaum muslim berhasil melakukan ekspansi adalah tempat ibadah. Umat islam membangun masjid sebagai simbol politik dan keagamaan atas kehadiran islam diwilayah tersebut. Masjid Cordoba menandai kehadiran islam di Eropa, Spanyol. Masjid Demak dan Menara Kudus menandai kehadiran islam di Tanah Jawa. Dalam bangunan masjid tersebut terlihat jelas pengaruh arsitektur budaya lokal, seperti Roma, Byzantium, Persia, India, Jawa, dan seterusnya.

Sumber:
TIM DOSEN MK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. 2016.Khazanah Peradaban Islam Nusantara. Serang: CV.Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar