Relasi agama dan budaya sebagai
sistem objektif, yang terdiri dari ajaran iman, peraturan moral, dan
upacara-upacara ritual (ibadat) banyak terdapat unsur-unsur kebudayaan. Budaya
menjadi raga dari jiwa ajaran agama. Tanggapan manusia terhadap ajaran agama yang bersumber dari wahyu ilahi
diungkapkan secara manusiawi, baik psikologis maupun simbol-simbol budaya.
Budaya menjadi sarana realisasi spiritual dan pencapaian pengetahuan iluminatif
tentang Tuhan dan mengapresiasi keindahan alam sebagai anugerah tak terbatas
dari Tuhan.
Atas dasar itu maka setiap agama
mempunyai hubungan erat dengan budaya dan seni, bahkan dalam hal tertentu, seni
lahir dari agama.seni dan agama dihubungkan dihubungkan oleh rasa. Dimana karya
ciptaseni lahir dari rangsangan rasa-agama. Dan rasa-agama yang menjelma,
menggerakan rasa seni untuk mencipta. Dalam islam, seni budaya dikendalikan
oleh pangkal dan ujungnya, yakni tujuan meraih takwa. Kesimpulan ini dapat
ditarik dari dua keterangan hadits berikut:
“Hendaklah kamu baguskan akan
al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus itu menambah keindahan
al-Qur’an “. Hadits riwayat
imam-imam Al-Hakim, ad-Darimy dan Ibnu Nashr dari Al-Baraa bin Azib.
“sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi
dan Maha Agung adalah indah dan Dia menyukai keindahan”(H.R. Ahmad dari ’Uqbah bin Amir).
Dalam sejarah islam, para sufi dan
sastrawan menghayati dan mencintai Tuhan dalam taraf cinta aksetik dan
mengungkapkan Tuhan sebagai Yang Maha Indah. Penyiar islam di nusantara yang
dikenal “Wali Songo” pada umumnya adalah ulama bercorak sufistik. Mereka
mengedapankan dakwah kultural dan sangat akomodatif terhadap budaya lokal.
Namun, kebijaksanaan para Wali songo ini tidak jarang menerima kritik dari kaum
skripturalis yang berdalil setiap perkara baru yang tidak dilakukan Rasulullah
sebagai bid’ah. Hal ini didasarkan hadits sohih terkenal berikut.
“… Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad,
dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru dan semua bid’ah itu
sesat.” (H.R. Muslim, Kitabul Jum’at
No.2024)
Dalam riwayat
Nasa’I dan Baihaqi ada tambahan redaksi:
“… dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”.
“jauhilah perkara-perkara
baru, sebab sesungguhnya setia bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud No. 4607 Bab luzumis sunnah dan HR. Tirmidzi No.
2678 Bab ma ja’a fil akhdzi bis sunnah wajtinabil bida’i).
“siapa yang mengadakan perkara baru yang tidak ada dasarnya,
maka dia tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum
skripturalis memahami redaksi “kullu’ hadits diatas bersifat ‘am mutlak
tanpa pengecualian. Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya
dineraka. Perayaan agama dan ritual yang dilakukan tanpa contoh Nabi berarti
bid’ah. Deretan amaliah seperti muludan, tahlilan, barzanjian, majelis
salawatan, haul, dan lain-lain adalah munkar karena termasuk perkara baru tanpa
preseden syar’i. Benarkah demikian? Mari kita periksa beberapa aspek dari
keterangan hadits di atas.
Pertama,
secara etimologis, kata kullu di
dalam bahasa Arab tidak selalu berarti ‘am
muthlaq (semua, tanpa kecuali). Kata kullu
terkadang berarti ‘am makhsus
(semua terkecuali). Di dalam Al-Quran, kata kullu
sebagai ‘am muthlaq, misalnya disebutkan
dalam ayat-ayat berikut:
Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. (Qs. Alu Imran/3:185)
Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya
kepada-Nya lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Qasas [29]: 88)
“Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS, al-Zumar
[39]: 62);
Sebaliknya, di dalam Al-Quran. Terdapat kata kullu, tetapi berarti sebagian tidak semua, sebagian besar atau
sebagian kecil, seperti dalam ayat-ayat berikut:
“Dan kami
jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30)
Sesungguhnya
aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (Qs. An-Naml [27: 23)
Meskipun
ayat di atas menyebutkan semua, namun faktanya kita tahu bahwa, tidak semua
makhluk Tuhan tercipta dari air. Contohnya malaikat dan iblis, tercipta dari
cahaya dan api. Disebutkan bahwa Ratu Balqis dianugerahkan segala sesuatu,
namun faktanya ia tidak dianugerahi kekuasaan terhadap Kerajaan Sulaiman.
Kesimpulannya, bahwa kata “kullu” tidak
selalu berarti semua tanpa kecuali (‘am
muthlaq), tetapi juga berarti sebagian (‘am
makhsus).
Salah
satu uslub (gaya bahasa) al-Quran adalah menyebut keseluruhan, tetapi yang
dimaksud sebagian. Dan ada pula uslub lain dari al-Quran yang menyebut sebagian
padahal yang dimaksud keseluruhan. Contoh masing-masing uslub adalah sebagai
berikut:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu sesuatu yang kotor, maka jauhilah
wanita (isteri) pada saat haid.” (QS Al-Baqarah [2]: 222)
Larangan
mendekati isteri yang sedang haid pada ayat diatas bukanlah larangan total
menjauhi isteri ketika haid, tetpi hanya sebagai kecilnya saja, yaitu
kemaluannya. Inilah yang dicontohkan Rasulullah. Dalam hadits sahih, Rasulullah
menyatakan: “Jami’uhunna fil buyut, washana’u
kulla sya’in illan nikah. Artinya: kumpuli isteri-isteri kalian dirumah,
lakukan semuanya kecuali seks! (HR. Muslim, Ahmad & Abu Dawud)
“maka hadapkanlah wajahmu kesisinya (masjidil
haram).”
(Qs.
Al- Baqarah/2:144)
Hadapakan wajahmu pada ayat diatas
tidak hanya bermakna muka, tetapi seluruh anggota badan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah sesat dan masuk neraka. Inilah mafhum yang
dinyatakan Imam Nawawi bahwa kullu dalam
hadits kullu bid’atin dlalalah bukanlah ‘am muthlaq (semua tanpa terkecuali),
tetapi ‘am makhsus (semua terkecuali).
Kedua, secara substansial, perkara apakah
yang dilarang untuk di-bid’ahi dalam teks hadits diatas? Apakah semua perkara
baru yang tidak dilakukan Rasulullah atau tidak ada pada zamannya dihukumi
bid’ah? Secara logika, pasti tidak mungkin. Rasulullah hidup dalam ruang dan
waktu, yang berbeda kurun dan budayanya dengan kita. Jika semua yang tidak
dilakukan Rasulullah disebut bid’ah, sebagian besar aktivitas manusia modern
adalah bid’ah. Dakwah melalui TV, radio, internet, aplikasi posel, alat
pengeras suara, semua adalah bid’ah. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, perkara
yang dimaksud adalah perkara agama, meliputi ushulul aqidah dan usuhulus
syariah.
Perkara
ushulul aqidah adalah rukun iman.berdasarkan ijma’ulama dari hadits Nabi, rukun
iman ada 6, yaitu iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab yang
diturunkan, percaya kepada rasul, hari kiamat, dan qadha-qadar. Sedangkan
ushulus syari’ah adalah rukun islam yang ada 5(lima), yaitu syahadat, shalat,
zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu. Menambah atau mengurangi, termasuk
berimprovisasi dalam perkara pokok ini, berarti bid’ah. Mengimani, mematuhi,
dan melaksanakan perkara pokok agama, pada prinsipnya bersifat ta’abbudi. Tidak
perlu bertanya kenapa shalat dzuhur empat rakaat, shalat subuh dua raka’at.
Ikuti saja ! Tidak usah menambah dua syahadat dengan embel-embel lain. Tidak
perlu ‘ngeyel’ kenapa haji harus dikota mekkah. Tidak perlu kritis kenapa puasa
mulai fajar sampai maghrib, bukan sebaliknya.
Improvisasi
dalam perkara ushul terlarang, karena sifatnya ibadah madhah. Menyelisihi ushul
(baik ushul aqidah maupun ushul syari’ah) akan berdampak langsung terhadap
status keimanan dan keislaman seseorang. Mengingkari keberadaan malaikat,
rasul, dan kitab-kitab akan menentukan utuh atau tanggalnya iman
seseorang.mengingkari kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji akan menentukan
utuh atau tanggalnya islamseseorang.
Dalam
ibadah mahdoh yang bersifat ta’abbudi tidak boleh ada improvisasi. Sebaliknya,
dalam muthalaqoh justru terbuka terhadap inovasi. Tidak ada bid’ah, dalam
pengertian kullu bid’atin dhalalah, dalam ibadah muthalaqah. Ibadah
muthalaqah adalah seluruh amal manusia yang dinilai ibadah dari niat dan
illat-nya. Illat adalah faktor yang menentukan hukum.
Jadi,
diskursus tentang relasi agama dan budaya secara jernih harus dimulai dengan
membedakan ushul dan furu’, ibadah mahdoh dengan ibadah muthalaqah. Adat selagi
tidak bertentangan dengan nash dibenarkan tergantung illat-nya. Ini berlaku
untuk semua hal. Muludan, tahlilan, yasinan, haul, salawatan bukan ibadah
mahdoh, karena itu berlaku kaidah niat dan illat. Jika niatnya jelek dan
menimbulkan mudharat, nilai ibadahnya bisa kurang atau hilang sama sekali.
Tetapi jika niatnya bagus dan menimbulkan maslahat, baik secara personal maupun
sosial, maka nilai ibadahnya tinggi. Mamakai jubbah dan sorban jika niatnya
mengikuti Rasulullah bisa bernilai ibadah. Jika murni karena budaya, hukumhya
mubah. Tetapi, jika niatnya pamer kesalehan dan dampaknya ujub personal,
hukumnya haram karena nilai ibadahnya hilang sama sekali.
Dalam
ibadah muthalaqah, kaidah fikih yang berlaku adalah (hukum asal sesuatu adalah
boleh sampai ada yang melarangnya). Sementara dalam ibadah mahdloh, kaidah yang
berlaku sebaliknya (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang
membolehkannya). Dalam ibadah muthalaqah, jangan bertanya mana dalil yang
memerintahkannya. Tanyakan dalil mana yang melarangnya? Jika ada orang bertanya
mana dalil yang memrintahkan muludan, tidak usah sibuk buka kitab mencari
justifikasi dalil. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya ! jika ada orang
yang bertanya mana dalil yang memerintahkan tahlilan, tidak usah sibuk buka
kitab cari referensi. Tanyakan balik mana dalil yang melarangnya !
ujung-ujungnya pasti akan kembali kepada qiyas, mencari padanan dalil, karena
dalil sharih, baik yang memerintahkan maupun melarangnya, sama-sama tidak ada.
C. Inovasi Dakwah bukan Bid’ah
Para
ulama membagi bid’ah kedalam lima kategori, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh,
dan haram. Bid’ah wajib seperti menciptakan ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an
mencakup ilmu nahwu, ushul fiqh, dan seterusnya. Bid’ah sunnah yaitu kebaikan
yang tidak ada dizaman Rasulullah seperti teraweh berjamaah. Bid’ah mubah
seperti mengenakan baju yang indah, dan memiliki rumah yang bagus. Bid’ah haram
adalah perkara baru yang jelas menentang sunnah dan al-Qur’an.
Bid’ah yang
masuk dalam kategori wajib dan sunnah itulah yang masuk dalam gerakan inovasi.
Inovasi dakwah islam sudah dimulai sejak awal sejarah islam, yakni mulai
kodifikasi al-Qur’an dan hadits serta pembangunan masjid.
Bukankah kita
mengenal islam dari mushaf
al-Qur’an dan kitab hadits yang oleh
Rasulullah tidak pernah dikodifikasikan ? Al-Qur’an dizaman Rasulullah dan
sahabat tersimpan terutama di dada para pengafal al-Qur’an. Belum ada mushaf
utuh. Catatan al-Qur’an masih berserak ditangan sahabat, ditulis didaun lontar,
tulang, dan batu.
Seusai perang
Yamamah, banyak sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Kepada khalifah Abu Bakar,
sahabat Umar bin Khatab usul agar dihimpun mushaf agar menjaga otentisitas
al-Qur’an. Abu Bakar menolak dan berkata “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan Rasulullah?” Umar
bergeming, terus meyakinkan Abu Bakar dan berkata: “Demi Allah ini demi
kebaikan.” Akhirnya, setelah terus diyakinkan Umar , dada Abu Bakar terbuka,
menyetujui usul Umar dan memerintahkan Zaid bin Tsabit memimpin tim penghimpun
al-Qur’an. Di zaman Utsman, kodifikasi al-Qur’an digalakkan besar-besaran,
dibagikan secara massif keluar tanah Hijaz.
Setelah Islam
berkembang luas ke luar jazirah arab, mushaf Al-Qur’an yang dicetak dan
dibagikan massif dizaman Utsman bin Affan tidak bisa dibaca oleh masyarakat non
Arab. Jangan bayangkan mushaf zaman dahulu seperti sekarang. Dulu, huruf Arab gundul, betul-betul gudul, tanpa titik
dan harakat. Kita tidak bisa membedakan huruf
Tha’, Ba’ dan Tsa’, karena hanya berupa cengkok tanpa titik. Huruf Shad
dan Dhad juga tidak ada bedanya. Orang yang pertama kali meletakan titik
kedalam huruf Arab (awwalu man wadha’an nuqoth alal huruf) adalah Abu-I Aswad
ad-Du’ali, pada 62 H. Beliau adalah generasi tabi’in.
Seabad
kemudian, Imam Kholil bin Ahmad Al-Farahidi yang wafat pada 185 H, melengkapi
dengan harakat, fathah, kasrah, dhammah, sukun, dan tanwin. Tanpa inovasi ulama
ini, orang non Arab seperti kita tidak akan bisa membaca al-Qur’an.
Kita juga
berhutang kepada Abu Ubaid Qosim bin Salam (w. 224 H) yang menemukan ilmu
tajwid, sehingga untaian ayat al-Qur’an indah dibaca dan didengar. Sekali lagi,
tanpa inovasi sahabat dan ulama, kita tidak bisa mengenal al-Qur’an dan
membacanya dengan baik dan benar.
Sumber kedua islam
adalah hadits. Dalam hadits shahih riwayat muslim, Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian tulis dari aku. Siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an ,
hapuslah”. Rasulullah tidak memerintahkan menulis hadits, bahkan melarangnya.
Jika kita tidak melihat konteks hadits ini dan hanya baca teksnya, maka kita
tidak mengenal sumber islam yang kedua. Kitab-kitab hadits yang terhimpun
seperti al- Muwatha’ karya imam malik, Musnad ahmad karya Imam Ahmad bin Hanbal,
Abu Dawud, dan Ibnu Majah, serta kitab-kitab hadits lainnya.
Inovasi tidak
dapat dipisahkan dari dakwah islam. Mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab hadits
yang menjadi referensi kita dalam menggali nilai-nilai islam adalah produk
inovasi. Dengan kecerdasan para ulama memahami konteks zaman, mereka giat
membukukan hadits yang tidak diperintahkan bahkan dilarang oleh Rasulullah.
Inovasi lain yang menjadi tantangan umat islam, saat kaum muslim berhasil melakukan ekspansi adalah tempat ibadah. Umat islam membangun masjid sebagai simbol politik dan keagamaan atas kehadiran islam diwilayah tersebut. Masjid Cordoba menandai kehadiran islam di Eropa, Spanyol. Masjid Demak dan Menara Kudus menandai kehadiran islam di Tanah Jawa. Dalam bangunan masjid tersebut terlihat jelas pengaruh arsitektur budaya lokal, seperti Roma, Byzantium, Persia, India, Jawa, dan seterusnya.
Sumber:
TIM DOSEN MK PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM. 2016.Khazanah Peradaban
Islam Nusantara. Serang: CV.Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar